Beranda | Artikel
Serial Fikih Muamalah (Bag. 10): Rukun-Rukun yang Harus Ada Saat Berlangsungnya Sebuah Akad
Senin, 5 Desember 2022

[lwptoc]

Setelah mengetahui apa itu akad dan kedudukannya dalam syariat Islam (pembahasan artikel sebelumnya), kita juga harus mengetahui bahwa sebuah akad akan sempurna terbentuk dan menjadi sah apabila telah memenuhi rukun-rukun yang ada dan syarat-syaratnya. Pada pembahasan kali ini, akan kita bahas perihal rukun-rukun yang harus ada saat berlangsungnya sebuah akad, baik itu akad jual, ataupun yang lainnya.

Apa itu rukun?

Secara bahasa, rukun artinya bagian terkuat dari sesuatu, seperti tiang-tiang bangunan dan pondasinya.

Adapun secara istilah, rukun memiliki arti apa yang dengannya sesuatu menjadi tegak dan berwujud serta ia merupakan salah satu bagian dari sesuatu tersebut. Sehingga, sesuatu tidak akan bisa berdiri sempurna, kecuali dengan adanya rukun tersebut. Perbedaan dengan syarat, syarat merupakan sesuatu yang harus terpenuhi, namun bukan bagian dari amalan tersebut.

Rukun-rukun akad

Rukun pertama: Shighah (format) akad

Shighah secara bahasa artinya adalah perbuatan, penilaian, dan format. Sehingga makna (صيغة الكلام) adalah kata-kata yang menunjukkan konsep dan maksudnya.

Shighah akad secara istilah maknanya adalah kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang darinya terbentuk dan tersusun sebuah akad.

Beberapa ulama memberikan istilah, “Apa yang dengannya sebuah akad terbentuk, baik itu perkataan ataupun isyarat (tindakan) yang menjelaskan maksud dan keinginan orang yang hendak melakukan akad.”

Harus kita pahami bahwa keinginan salah satu pihak yang hendak melakukan sebuah akad ataupun keinginan keduanya adalah perkara hati yang tidak akan nampak, kecuali dengan adanya perkataan maupun tindakan yang menunjukkannya. Hal inilah yang disebut dengan ijab dan kabul.

Para ulama berselisih pendapat di dalam mendefinisikan ijab dan kabul. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat mazhab Hanafiyyah karena begitu detail dan memudahkan kita untuk membedakan antara apa yang disebut dengan ‘ijab’ dan apa yang disebut dengan ‘kabul’.

Mazhab Hanafiyyah membedakan kedua hal tersebut dengan melihat waktu munculnya. Apa yang muncul terlebih dahulu disebut “ijab” dan yang muncul setelahnya disebut “kabul”. Mengapa yang kedua disebut ‘kabul’? Karena hal itu sebagai bentuk persetujuan dan pengabulan serta keridaan atas apa yang diharuskan oleh pihak pertama (yang melakukan ijab).

Format (sighah) akad antara 2 hal: akad dengan ucapan atau akad dengan tindakan.

Yang pertama: akad dengan ucapan

Format akad dengan bentuk perkataan pada asalnya harus berasal dari ucapan lisan, karena lisanlah anggota tubuh yang memang diciptakan untuk mengungkapkan keinginan manusia. Maka, ia mengucapkan dan melafalkan apa yang diinginkannya sebagaimana Allah Ta’ala mengisahkan tentang doa Nabi Musa ‘alaihis salam,

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ ۙ * يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ ۖ

“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha: 27-28)

Lepasnya kekakuan lidah maksudnya adalah mudahnya berucap dan melafalkan atau kuatnya lidah di dalam mengucapkan sesuatu.

Hendaknya ucapannya tersebut menggunakan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak. Seperti jika seorang penjual mengatakan, “Aku jual mobil ini seharga dua ratus juta.” Kemudian pihak lain mengatakan, “Baik, aku beli dan aku terima.”

Format akad dengan bentuk perkataan terwujud juga dengan tulisan.

Oleh karenanya, jika sebuah akad terbentuk hanya dengan tulisan antara kedua pihak yang yang tidak hadir secara nyata, semisal jual beli melalui web/ e-commerce di mana penjual telah menulis harga untuk sebuah barang kemudian ada pihak yang setuju dan membelinya dengan mengklik tombol “beli”, maka akad semacam ini dianggap sah secara mutlak.

Kedudukan akad tersebut sebagaimana akad yang dilafalkan dengan lisan. Para ulama membuat sebuah kaidah,

اَلْكِتَابُ كَالْخِطَابِ

“Tulisan sebanding dengan ucapan.”

Maksud kaidah ini bahwa sebuah tulisan dari orang yang saling berjauhan (tidak sedang di tempat, gaib) berstatus hukum sama dengan ucapan dari orang yang sedang bertatap muka. Karena tulisan merupakan salah satu bentuk ekspresi ungkapan penulisnya.

Yang kedua: akad dengan tindakan

Sebagaimana akad menjadi sah dengan ucapan, ia juga menjadi sah dengan adanya tindakan dari kedua belah pihak, seperti memberi isyarat ataupun saling mengambil dan memberikan.

Para ulama berbeda pendapat, apakah orang yang mampu berbicara dibolehkan untuk menggunakan isyarat di dalam melakukan sebuah akad? Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah dibolehkan, dengan syarat isyarat tersebut sudah sering digunakan dan dipahami oleh masyarakat. Serta dikecualikan darinya akad nikah, di mana seseorang yang mampu berbicara, maka ia tidak diperbolehkan melaksanakan akad dengan menggunakan isyarat, karena begitu penting dan sakralnya akad nikah.

Adapun saling mengambil dan memberikan (at-ta’athi), di mana penjual memberikan dagangannya dan pembeli memberikan uang pembayaran tanpa mereka berdua mengucapkan ijab dan kabul, maka jumhur ulama membolehkannya. Baik barang dagangannya berupa sesuatu yang sangat berharga maupun sesuatu yang remeh. Adapun akad nikah dengan hanya saling mengambil dan memberikan tanpa mengucapkan akad (ijab dan kabul), maka ulama sepakat bahwa hal tersebut tidak sah.

Rukun kedua: Adanya pihak penjual dan pembeli

Adanya kedua pihak yang melakukan akad merupakan rukun utama terbentuknya sebuah akad, karena keduanyalah yang akan bersinggungan langsung dengan akad. Baik kedua pihak ini adalah pribadi langsung yang akan melakukan akad maupun perwakilannya.

Di dalam melakukan sebuah akad, Islam menyaratkan adanya ‘ahliyyah’ (kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi). Seseorang biasanya akan memiliki ahliyyah jika telah balig atau mumayyiz dan berakal. Adapun mereka yang belum memenuhi syarat dan kriteria tersebut, maka bisa diwakilkan oleh orang lain yang sudah memenuhi persyaratan tersebut.

Anak kecil yang belum tamyiz, orang gila, dan orang yang dungu misalnya, maka bapaknya, kakeknya, atau hakim bisa menjadi walinya di dalam melaksanakan sebuah akad jual beli. Dengan syarat, mereka adalah orang yang memiliki kecakapan (ahliyah) di dalamnya, jujur, amanah, serta sangat perhatian terhadap orang-orang yang berada di bawah perwaliannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nisa: 9)

Allah Ta’ala juga berfirman,

اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا ࣖ

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa: 10)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak mengenal hak orang-orang yang lebih tua di antara kami, maka dia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Abu Dawud no. 4943, Ahmad no. 7073, dan Tirmidzi no. 1919)

Rukun ketiga: Objek transaksi

Dalam sebuah akad jual beli, maka objeknya adalah barang yang dijual dan harga yang sebanding dengannya. Dalam akad sewa menyewa, maka objeknya adalah kemanfaatan dan biaya sewanya. Dalam akad tabarru’ (pemberian), maka objeknya adalah sesuatu yang diniatkan untuk diberikan tersebut. Sehingga objek sebuah akad mencakup dua hal, barang yang hendak dijual, disewakan ataupun diberikan dan barang yang sepadan dengannya (harga, biaya sewa).

Pada barang yang akan dijual atau disewakan, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:

Pertama, objek transaksi harus berupa mal mutaqawwim, yaitu harta yang diperbolehkan oleh syariat untuk ditransaksikan, baik itu sebuah harta yang memiliki fisik ataupun sebuah kemanfaatan. Oleh karenanya, harta yang dilarang untuk digunakan dan dimanfaatkan, maka hukum menjual dan membelinya pun terlarang, seperti alat-alat musik.

Kedua, objek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.

Ketiga, objek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan di kemudian hari.

Harga yang akan dibayarkan harus jelas dan diketahui nilainya, tidak sah sebuah transaksi yang tidak diketahui nilai harganya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual mobil ini dengan seberapa pun uang yang ada di kantongmu.” Wallahu a’lam bisshawab

[Bersambung]

Baca juga: Rukun Shalat

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/81069-serial-fikih-muamalah-bag-10.html